Nenek Miskin di Kota Metrodollar: Potret Buram Ketimpangan Sosial di Jantung Industri Kabupaten Bekasi

     

Foto: Kondisi Rumah Nenek Murdianah yang sudah tidak layak huni.(Dok.CP)
  


KABUPATEN BEKASI, TEGAR NEWS - Di balik gemerlapnya julukan "Kota Metrodollar" yang disematkan pada Kabupaten Bekasi karena menjadi pusat industri nasional dengan ribuan pabrik berdiri megah, tersimpan potret kelam kemiskinan ekstrem yang menggugah nurani. Di wilayah yang semestinya menjadi simbol kemajuan ekonomi nasional, masih terdapat warga yang hidup dalam kondisi tidak layak huni, bertolak belakang dengan semangat keadilan sosial dalam UUD 1945 dan tujuan SDGs nomor 1: “Menghapus Kemiskinan.”

Adalah Murdianah (68), seorang perempuan lansia yang hidup di tengah derita dan kesunyian di Perumahan Papanmas, Jl. Garuda 1 C.9 No.2, RT 001 RW 008, Desa Mangunjaya, Kecamatan Tambun Selatan. Di rumahnya yang reyot dan nyaris roboh, ia tinggal bersama sang anak yang juga tidak memiliki pekerjaan tetap. Setiap hari, mereka bergulat dengan kemiskinan dan ketidakpastian.

Kondisi rumah yang dihuni oleh Murdianah jauh dari kata layak. Atap rumah miring ditopang kayu, dinding berlubang termakan usia, dan jendela yang absen menambah kegelapan malam. Setiap hujan turun, air bocor masuk dari atap bolong, menciptakan rasa cemas akan kemungkinan atap runtuh sewaktu-waktu. Rumah tersebut bahkan tidak memenuhi standar kesehatan dan keselamatan tempat tinggal, yang jelas bertentangan dengan asas keadilan dan perlindungan warga negara.

Plafon yang rusak parah juga membuat penggunaan listrik sangat terbatas. Lampu yang menyala pun seadanya, karena takut korsleting listrik saat hujan. Dalam keadaan seperti ini, keselamatan jiwa nenek Murdianah dan anaknya sangat rentan. Sebuah realitas yang memilukan, namun kerap luput dari perhatian di tengah hingar-bingar pertumbuhan ekonomi kawasan industri.

Yopi Oktavianto, seorang aktivis kemanusiaan yang juga pegiat sosial di Kabupaten Bekasi, mengangkat kisah pilu ini ke permukaan. Ia menegaskan bahwa Murdianah sangat layak menerima bantuan sosial dari pemerintah, baik dalam bentuk Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) maupun bantuan rehab rumah lewat program Rumah Tinggal Layak Huni (Rutilahu). “Ini soal keadilan, soal hak dasar warga negara. Rumah nenek Murdianah sudah tidak layak ditinggali dan berisiko tinggi bagi keselamatan jiwa,” ujar Yopi yang akrab disapa Opay kepada awak media, Rabu (03/09/2025).

Menurut Opay, rumah tersebut merupakan peninggalan almarhum suami Murdianah dan belum pernah tersentuh bantuan renovasi dari pemerintah. Meski kondisinya sangat memprihatinkan, sang nenek memilih tetap tinggal karena tidak memiliki pilihan tempat tinggal lain. “Kami tidak tahu apa yang akan terjadi jika atap itu benar-benar roboh. Jangan sampai ada korban jiwa baru kita bergerak,” tegasnya dengan nada prihatin.

Lebih jauh, Opay menyerukan kepada seluruh elemen pemerintahan mulai dari tingkat RT, RW, Pemerintah Desa Mangunjaya, Kecamatan Tambun Selatan, hingga Dinas Sosial Kabupaten Bekasi agar segera turun tangan. Ia mengingatkan bahwa tanggung jawab sosial bukan hanya urusan negara, tetapi juga tanggung jawab kolektif seluruh warga bangsa, sebagaimana diamanatkan dalam sila kelima Pancasila: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Kisah Murdianah bukan hanya soal satu rumah yang nyaris roboh. Ia adalah simbol dari masih jauhnya cita-cita pembangunan berkelanjutan yang inklusif dan berkeadilan. Pada saat yang sama, ini menjadi refleksi bahwa indikator keberhasilan pembangunan tidak cukup diukur dari pertumbuhan ekonomi atau nilai investasi industri semata, melainkan juga dari sejauh mana rakyat kecil dapat merasakan manfaatnya secara langsung.

Pemerintah pusat melalui Kemendes PDTT dalam SDGs Desa telah menekankan pentingnya pemenuhan hak dasar warga desa, termasuk hak atas tempat tinggal yang layak. Dalam konteks itu, kasus seperti yang dialami Murdianah harus menjadi prioritas intervensi kebijakan, agar tidak ada lagi warga yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, terlebih di daerah yang dikenal sebagai jantung industri nasional.

Jika negara hadir melalui Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 34 ayat (1) yang menyatakan bahwa "fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara", maka sudah seharusnya langkah nyata dilakukan untuk memastikan keadilan sosial berjalan bukan hanya dalam narasi, tapi dalam aksi nyata.

Masyarakat, organisasi kemasyarakatan, LSM, dan elemen relawan kemanusiaan juga diimbau untuk berkolaborasi mendorong advokasi dan penggalangan sumber daya agar Murdianah dan warga lain dalam situasi serupa bisa keluar dari jerat kemiskinan ekstrem. Tidak hanya sebagai bentuk solidaritas sosial, tetapi juga sebagai wujud implementasi nilai-nilai kemanusiaan dan keberpihakan terhadap yang lemah.

Kisah Murdianah adalah alarm keras bagi semua pemangku kepentingan. Apakah kita rela melihat warga lanjut usia hidup di rumah nyaris roboh, di tengah kemegahan ribuan pabrik yang menopang ekonomi nasional? Jika kita menutup mata hari ini, maka kita telah abai terhadap amanat konstitusi dan tanggung jawab moral sebagai bangsa.(CP/red)

Posting Komentar

0 Komentar