Ada tujuh instruksi
Presiden yang diamanatkan kepada para pembantunya sebagai genderang perang yang
menengarai dimulainya babak baru pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi.
1. Jangan
korupsi, ciptakan sistem yang menutup celah terjadinya korupsi!
2. Tak
ada visi-misi Menteri, yang ada visi-misi Presiden-Wakil Presiden!
3. Kerja
cepat, kerja keras, kerja produktif!
4. Jangan
terjebak rutinitas yang monoton!
5. Kerja berorientasi pada hasil nyata!
Tugas kita tidak hanya menjamin sent, tapi delivered!
6. Selalu
cek masalah di lapangan dan temukan solusinya!
7. Semuanya harus serius dalam bekerja.
Saya pastikan yang tidak bersungguh-sungguh, tidak serius, bisa saya copot di
tengah jalan!
Instruksi tersebut di
atas setidaknya menjadi catatan pembuka di awal 100 hari pertama pemerintahan
Jokowi yang harus dipahami secara paripurna pada konteks dimana Indonesia
dihadapkan pada bahaya laten terjadinya Balkanisasi dan disintegrasi yang
menjadi ancaman nasional di bawah tekanan gelombang krisis ekonomi dunia.
Konflik horisontal
dengan isu SARA di tengah maraknya radikalisme dan terorisme gerakan khilafah
yang bercita-cita mendirikan Negara Islam serta ditambah lagi munculnya gerakan
anarcho syndicalist yang berhaluan liberal, merupakan bahaya laten yang
merupakan TAHG (Tantangan, Ancaman, Hambatan, Gangguan) dimana kombinasi unsur-unsurnya
menjadi pendorong terjadinya gerakan amuk massa dalam skala besar dengan
spektrum luas seperti yang baru-baru ini terjadi hingga menimbulkan kerugian
harta benda dan korban jiwa.
Radikalisme dan
terorisme berbasis khilafah secara terstruktur, sistematis dan masif tidak
hanya menyasar kelompok-kelompok sosial berusia muda melalui kegiatan-kegiatan
berselubung agama di kampus-kampus, tetapi juga sudah merembes masuk baik di
kalangan Aparatur Sipil Negara, TNI dan Polri dengan terus menyebarkan kebencian
terhadap pemerintah yang sah. Sementara gerakan anarcho syndicalist yang sangat
liberal, secara segmented lebih menyasar kelompok-kelompok sosial berusia muda
dengan menawarkan gaya hidup liberal yang memberontak dan tidak mau tunduk
terhadap norma-norma etika dan pranata sosial juga terhadap hukum dan aturan
perundang-undangan.
Di tengah situasi
nasional yang penuh dengan ancaman bahaya laten tersebut di atas; International
Monetary Fund (IMF) melalui Direktur Pelaksana Kristalina Georgieva, dalam
pertemuan tahunan IMF pada Selasa (8/10/2019) menyatakan bahwa ekonomi global
saat ini tengah berada dalam kondisi perlambatan yang tersinkronisasi. Perlambatan yang meluas ini dapat diartikan
bahwa pertumbuhan ekonomi tahun ini akan turun ke tingkat terendah sejak awal
dekade.
Dalam analisis
terbarunya, IMF juga menunjukkan bahwa efek kumulatif dari perang dagang antara
AS versus China dapat mengurangi output produk domestik bruto (PDB) global
sebesar USD700 miliar atau sekitar 0,8 persen tahun depan serta mengakibatkan
melemahnya aktivitas manufaktur dan investasi di seluruh dunia secara
substansial. Angka ini, dalam hitungan IMF, sekitar ukuran seluruh perekonomian
negara Swiss.
Bank Dunia juga telah
merevisi ke bawah pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,6 persen dari sebelumnya
2,9 persen. Pelbagai data yang dibeberkan kementerian keuangan dan badan
statistik sejumlah negara memperlihatkan pelemahan ekonomi dan ancaman
resesi. Penurunan produk domestik bruto
(PDB) riil menjadi indikator paling penting dan menjadi bobot penentu yang
cukup besar saat resesi terjadi. Beberapa negara telah mengalami perlambatan
pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2019.
1. Jepang,
hanya mencapai 1,3 persen dibanding dengan target pertumbuhan 1,8 persen secara
tahunan.
2. Inggris
hanya mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 1,2 persen, melambat dibanding
kuartal sebelumnya yang menyentuh 1,8 persen.
3. Jerman, merosotnya kinerja ekspor
membuat PDB Jerman turun 0,1 persen pada Kuartal II/2019. Perusahaan-perusahaan
Jerman enggan berinvestasi karena ancaman Trump untuk memperluas jangkauan
perang dagang dengan mengenakan tarif pada mobil-mobil pabrikan Jerman yang dijual
di AS.
4. Singapura
terpangkas jadi minus 3,3 persen secara triwulanan. Angka itu turun dari
pertumbuhan 3,8 persen pada kuartal I/2019. Menurunnya wisatawan asal Cina juga
menekan perdagangan grosir dan eceran Singapura.
Gejolak resesi ekonomi
dunia yang tengah berlangsung saat ini sangat berpotensi juga membawa pengaruh
buruk terhadap ekonomi Indonesia. Dan sejarah Indonesia telah mencatat fakta
dua peristiwa perubahan politik penting yang terjadi pada tahun 1965 dan 1998
dimana keduanya dipicu akibat terjadinya krisis dan resesi ekonomi.
Atas dasar
catatan-catatan tersebut di atas serta dalam rangka Peringatan 91 tahun Soempah
Pemoeda 28-10-28, maka kami Eksponen Forum Komunikasi Senat Mahasiswa se
Jakarta ’98 sebagai Bangsa Indonesia memandang perlu untuk menyampaikan
pandangan dan sikap kami kepada Pemerintah Negara Republik Indonesia cq.
Presiden Joko Widodo sekaligus kepada seluruh komponen bangsa Indonesia :
1. Mengembalikan
jiwa semangat Soempah Pemoeda 28-10-28 dalam segala aspek perikehidupan
bertanah air, berbangsa, berbahasa Indonesia.
2. Mengembalikan
gerak roda pemerintahan dan tata kelola sistem ketatanegaraan untuk kembali
pada apa yang telah diamanatkan dalam Preambule Undang Undang Dasar 18 Agustus
1945.
3. Menghabisi
dengan tuntas hingga ke akar-akarnya segala bentuk radikalisme dan terorisme
yang bermaksud menghancurkan tatanan peri kehidupan bertanah air, berbangsa dan
bernegara Republik Indonesia berdasarkan amanat Pembukaan UUD 18-8-1945 dan
menggantikannya dengan paham-paham yang mengatasnamakan ideologi dan agama.
4. Menjaga
agar ASN, TNI dan POLRI sebagai alat negara tidak disalahgunakan oleh
kepentingan-kepentingan yang ingin menjadikannya sebagai alat kekuasaan dengan
membersihkan seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI dan POLRI dari
anasir-anasir radikalisme dan terorisme yang ingin mengganti Negara Republik
Indonesia dengan Negara Islam.
5. Penguatan perekonomian berbasis ekonomi
kerakyatan baik usaha mikro, kecil maupun menengah agar mampu menciptakan
Ekonomi Berdikari, Berdiri di atas kaki sendiri, dengan tetap memelihara dan
menjaga kelangsungan dan kelestarian alam.
6. Menguatkan
sektor pangan demi tercapainya kedaulatan pangan dengan menjalankan Reforma
Agraria sehingga kita tidak lagi menjadi bangsa yang seperti tikus mati di
lumbung padi.
7. Mengembalikan
fungsi dan peran Badan Usaha Milik Negara sebagai manifestasi dari pelaksanaan
Pasal 33 UUD 18 Agustus 1945
Inilah pernyataan sikap
dari Eksponen FKSMJ '98 sebagai perwujudan dari rasa tanggung jawab dan keterpanggilan
kami sebagai anak bangsa demi kelangsungan masa depan bangsa dan negeri ini,
Indonesia Raya. (red)
0 Komentar