Pemetaan DAS dan Hutan Dengan Drone Kayu

Drone kayu rakitan. Inilah penampakan drone karya Swandiri Institute Pontianak. Pesawat tanpa awak jenis multicopter ini dirakit dengan menggunakan bahan baku kayu oleh Irendra Radjawali, warga negara Indonesia yang kini menjadi staf pengajar di Fakultas Ekologi Politik Universitas Bonn, Jerman. Foto: Andi Fachrizal / Tegar News

PONTIANAK, TEGARNEWS.com - Kisahnya berawal pada 2011. Kala itu, seorang warga negara Indonesia yang telah mendedikasikan dirinya sebagai staf pengajar di Fakultas Ekologi Politik Universitas Bonn, Jerman, hendak melakukan riset di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas, Kalimantan Barat. Irendra Radjawali atau dipanggil Radja adalah nama anak muda itu.

Kisah Radja, yang saat ini ada di Cologne, Jerman, seketika menjadi buah bibir lantaran teknologi pesawat tanpa awak (drone) rakitannya yang murah meriah. Radja dan tim dari Swandiri Insititute telah berhasil membawa teknologi drone ke ranah publik. Padahal sesungguhnya yang dia lakukan adalah riset yang berkaitan dengan tutupan lahan di DAS Kapuas, dari hulu hingga hilir.

Pada awalnya saat melakukan kegiatan riset tersebut, sejumlah kendala di lapangan mulai timbul. Keterbatasan infrastruktur, membatasi ruang gerak pria kelahiran kota Bandung itu dalam menjalankan risetnya. Aksesibilitas terlampau sulit. Sementara menggunakan citra satelit, tidak bisa menghasilkan detil gambar sesuai harapan.

Sadar tantangan kian berat, akhirnya Radja, dibantu tim peneliti Swandiri Institute berupaya mencari solusi guna menjawab sejumlah tantangan yang dihadapi dalam riset tersebut. Penelusuran lewat alam maya dilakukan. “Kita terinspirasi dengan pesawat tanpa awak yang sudah ada sebelumnya. Lalu kita berupaya bagaimana teknologi itu bisa disederhanakan,” kata Arif Munandar, peneliti Swandiri Institute ketika dijumpai oleh Tegar News di Pontianak (26/09/2015).

Penelusuran kembali dipertajam melalui sejumlah jaringan. Akhirnya, Radja menemukan salah seorang sahabat lamanya di Bandung. Saling tukar informasi terjadi. Selanjutnya, teknik perakitannya pun dipelajari melalui youtube.

Radja kemudian mempelajari teknik perakitan drone di Cologne, Jerman. Improvisasi dilakukan dengan menggunakan bahan baku dari kayu. Pada 2012, dia sudah mampu merakit pesawat tanpa awak itu dengan biaya yang sangat murah. Dari harga semula yang mencapai ratusan juta rupiah, turun drastis menjadi hanya Rp10-an juta saja.

Pada 2013, dia kembali ke tanah air dan melanjutkan risetnya dengan menggunakan drone. Riset aksi yang direncanakan berjalan dari 2011-2016 ini akhirnya menyedot perhatian publik. “Kita melayani ekspektasi warga yang begitu tinggi dan tetap memegang komitmen bahwa teknologi ini harus dilarikan ke ranah publik,” kata Arif.

KONTRIBUTOR: Andi Fachrizal 
EDITOR : SB BUDI W

Posting Komentar

0 Komentar