Akibat Hukum Pengakuan Barada E

 

Foto: Anggie Tanjung , S.H.,M.H., Advokat Perhimpunan Advokat Pro Demokrasi (PAPD), Dosen Fakultas Hukum Universitas Azzahra.(Dok.Jc)


*Opini Oleh : Anggie Tanjung, S.H.,M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Azzahra*


JAKARTA, TEGAR NEWS - Belakangan ini kita dicengangkan dengan fakta terbaru pengakuan Barada E mengenai penyataannya "melihat Irjen FS memegang pistol disamping jasad Brigadir J yang sudah bersimbah darah" Terkait dengan kesaksian tersebut Burhanuddin sebagai pengacara Barada E menegaskan bahwa pernyataan tersebut sudah di sampaikan oleh Bharada E dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Fakta tersebut keluar dari mulut Bharada E ketika memberikan BAP terbaru tim khusus (timsus) yang dibentuk oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Hal itu disampaikan Burhanuddin kepada wartawan di Jakarta, Minggu, 7 Agustus 2022.

Kedudukan Barada E sebagai Justice Colaborator.

Singkatnya mengenai sejarah adanya istilah justice collaborator ini didasari dengan lahirnya undang-undang yang memfasilitasi kerjasama saksi pelaku yang bekerjasama (justice collaborator) dengan penegak hukum pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Fasilitasi tersebut tak lain untuk menghadapi para mafia, yang sejak lama telah menerapkan omerta (sumpah tutup mulut sekaligus merupakan hukum tertua dalam dunia Mafioso Sisilia).

Peraturan mengenai Justice Colaborator terdapat dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang didalamnya terdapat pengaturan mengenai perlindungan terhadap saksi pelaku (justice collaborator) yang terdapat dalam Pasal 10 dan Pasal 10A, Pasal 10 ayat (1) menyatakan sebagai berikut: “Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktitad baik.”

Selanjutnya terdapat Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi Pelapor Tindak Pidana (whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (justice collaborator) di dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu. Surat Edaran yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung ini adalah pedoman bagi seorang hakim untuk menentukan seseorang sebagai justice collaborator, dimana dalam Surat Edaran ini meliputi mengenai tindak pidana serius dan atau tindak pidana terorganisir yang seorang pelaku dapat mengajukan dirinya menjadi justice collaborator dengan syarat bahwa Barada E bukanlah pelaku utama dalam peristiwa tewasnya Brigadir J sebagaimana yang tertuang dalam pedoman Sema Angka 9 huruf (a) dan (b), untuk menentukan kriteria justice collaborator.

Jika hal-hal tersebut telah dilakukan oleh yang bersangkutan, maka dalam proses Penyidikan dan proses penuntutan di Pengadilan maka jaksa penuntut umum akan menyatakannya bahwa Barada E telah menjadi Justice Collaborator  yang pernyataannya membuat terang suatu delik tindak pidana dalam tuntutannya. Pernyataan dari penuntut umum tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi hakim dalam menentukan pidana yang akan dijatuhkan bagi Barada E yang tentunya diharapkan dapat menjadi alasan pembenar (recht vaardigingsgrond) dan alasan pemaaf (schulduitsluitingsgrond) sehingga dapat terlepas dari jerat hukum yang menimpa Barada E.

Analisis Pertanggungjawaban Pidana tewasnya Brigadir J 

Faktanya bahwa Barada E yang lahir di Manado pada tahun 1998 adalah Ajudan termuda dari Brigjen FS, mungkinkah dia hanya menjadi kambing hitam atas perbuatan yang dilakukan oleh atasannya berdasarkan perintah jabatan sehingga melakukan suatu kejahatan dan/atau suatu delik pidana yang terorganisir??

Menurut Lilik Mulyadi dalam bukunya “Perlindungan Hukum terhadap whistleblower dan justice collaborator dalam upaya penanggulangan organized cirme”, 2015, halaman 37 kejahatan terorganisir adalah: “Suatu kejahatan yang dilakukan oleh lebih dari dua orang melalui sebuah persengkomgkolan atau permufakatan bersama untuk bertindak jahat sesuai dengan peran dan tugas masing-masing”.

Sebagai Ajudan dari Brigjen FS mungkinkan Barada E mendapat perintah untuk membunuh Brigadir J karena menganggap perintah tersebut merupakan perintah langsung dari atasan kepada bawahan??

Menurut Lamintang dalam bukunya Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (hal. 525), perkataan ambtelijk bevel atau “perintah jabatan” itu sendiri secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu perintah yang telah diberikan oleh seorang atasan, di mana kewenangan untuk memerintah semacam itu bersumber pada suatu ambtelijk positie atau suatu kedudukan menurut jabatan, baik dari orang yang memberikan perintah maupun dari orang yang menerima perintah.

Harus dapat dibedakan antara Perintah jabatan yang dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) KUHP dengan ayat (2) Lebih lanjut mengenai penjelasan Pasal 51 KUHP ini, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 67) menjelaskan bahwa untuk dapat dipidana dengan pasal tersebut, maka harus dipenuhi beberapa syarat yaitu:

1. Bahwa orang itu melakukan perbuatan atas suatu perintah jabatan. Antara pemberi perintah dengan orang yang diperintah harus ada perhubungan yang bersifat kepegawaian Negeri, bukan pegawai partikelir. Tidak perlu bahwa yang diberi perintah itu harus orang bawahan dari yang memerintah. Mungkin sama pangkatnya, tetapi yang perlu ialah bahwa antara yang diperintah dengan yang memberi perintah ada kewajiban untuk menaati perintah itu.

2. Perintah harus diberikan oleh kuasa yang berhak untuk memberikan perintah itu. Jika kuasa tersebut tidak berhak untuk itu, maka orang yang menjalankan perintah tadi tetap dapat dihukum atas perbuatan yang telah dilakukannya, kecuali jika orang itu dengan itikad baik mengira bahwa perintah tersebut sah dan diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu. 

Menurut Pasal 51 ayat (2) tidak perlu bahwa perintah itu harus diberikan kepada seseorang bawahan saja, melainkan ia juga dapat diberikan kepada orang-orang lain, dan selama perintah seperti itu telah diberikan berdasarkan undang-undang, maka hal dapat dihukumnya perbuatan-perbuatan untuk melaksanakan perintah tersebut menjadi ditiadakan. 

Dalam kasus A Quo yang harus digaris bawahi ialah apakah Barada E tidak mengetahui bahwa apabila Brigjen FS memberikan perintah kepada dirinya untuk menghilangkan nyawa Brigadir J bukanlah suatu perintah jabatan melainkan suatu perbuatan Pidana yang melanggar Undang-Undang khususnya kejahatan terhadap nyawa yang termaktub didalam hukum positip Indonesia yaitu KUHP yang berlaku di Indonesia, ataukah memang ada alasan lain dan/atau perintah lain yang diberikan oleh Brigjen FS kepada Barada E sehingga dia mau melakukan dan mengakui perbuatan tersebut?

Negara Darurat Pri Kemanusiaan dan Pri Keadilan

Sangat miris memang dimasa menjelang Bangsa kita ini akan memperingati hari kemerdekan Republik Indonesia yang ke 77 Tahun pada Tanggal 17 Agustus 2022 ini ternyata kita masih terjebak dalam kondisi penegakkan hukum yang carut marut ditengah kondisi rakyat yang sangat memprihatinkan apalagi dengan adanya Fenomena “No Viral No Justice” bahwa masyarakat saat ini cenderung membuat perbandingan penanganan kasus yang diviralkan dengan perkara yang dilaporkan ke polisi tanpa diunggah ke medsos yang penanganannya lebih cepat, apakah dengan lamanya penanganan kasus pembunuhan dari Brigadir J menjadi antitesa fenomena “No Viral No Justice” dalam rangka mengevaluasi fenomena tersebut, apakah hilangnya nyawa Brigadir J bisa menjadi evaluasi besar dalam menyingkap tabir kebenaran dari sebuah institusi POLRI yang Presisi? Kita menunggu Pihak yang berwenang dalam penyelesaian hukumnya.

Presiden Jokowi sangat konsen dalam memberikan atensi atas kasus kematian Brigadir J hingga sampai 3 kali menyampaikan secara terbuka bahwa jangan ada yang ditutup-tutupi agar citra Kepolisian dapat diselamatkan dan mendapat kepercayaan dari masyarakat. Hal ini sangat bertolak belakang dengan sikap Jokowi dalam menyikapi tuntutan yang diminta oleh ribuan buruh yang berdemo pada Tanggal 10 Agustus 2022 dalam rangka menolak Undang-Undang Cipta Kerja, membatalkan RKUHP hingga menurunkan harga kebutuhan pokok yang dapat membunuh dan menghisap darah rakyat secara semena-mena karena dengan diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja, membatalkan RKUHP dengan tingginya harga kebutuhan pokok saat ini itu sama saja dengan membunuh rakyat secara perlahan yang implementasinya dilakukan oleh Pemerintah saat ini melalui kebijakan yang tidak pro rakyat, nyatanya Pemerintah hanya memikirkan dan mengupayakan kepentingannya untuk melanggengkan Hegemoni Kekuasaan semata.

Diakhir kata penulis berpendapat bahwa saat ini praktek-praktek Feodalisme yang dilakukan oleh Oligarki disemua lini kehidupan Berbangsa dan Bernegara semakin jelas terlihat, semakin mencekik dan menambah penderitaan rakyat. Apakah ini yang disebut kita sudah merdeka? Bahkan untuk bersuarapun kita sudah tidak merdeka dengan akan diberlakukannya Pasal penghinaan kepada Kepala Negara untuk menghukum rakyatnya. Apakah Kemerdekaan hanya dapat dirasakan dan dinikmati oleh Penguasa Negeri dan segelintir orang yang disebut Oligarki?? Sejarah Kemerdekaan Indonesia itu direbut bukannya diserahkan atau diberikan oleh Negara manapun…Apakah kita sudah merdeka?? 

Ternyata jawabannya Indonesia saat ini sama sekali belum merdeka justru Negara sedang mengalami darurat Pri Kemanusiaan dan Pri Keadilan (bahan perenungan)

-Vox Populi Vox Dei-.(Red)

Posting Komentar

0 Komentar