Badan Bank Tanah di Indonesia

 

     

Foto: Manaek Hutabarat Ketua Bidang Sumber Daya Agraria dan Pangan DPN ISRI.(dok.istimewa)


Oleh: *(Manaek Hutabarat)*


JAKARTA, TEGAR NEWS - Ketua Bidang Sumber Daya Agraria dan Pangan DPN Ikatan Sarjana Rakyat Indonesia (ISRI), Manaek Hutabarat mengatakan, debut bank tanah di berbagai negara di dunia telah lama beraktivitas. Untuk di Indonesia badan bank tanah dimulai dengan pengesahan RUU CIPTA KERJA yang memuat badan bank tanah pada pasal 125-130, telah menimbulkan berbagai persepsi. Wajar ada penolakan dan dukungan terhadap produk hasil kegiatan politik dari istana - DPR. 

Harapan untuk menata tanah yang timpang akan sedikit tertinggal dan ketimpangan tetap ada karena badan bank tanah juga ikut menguasai tanah dalam skala luas. Dan ini juga menambah ketimpangan kepemilikan tanah.

Sekali lagi harapan ketimpangan kepemilikan tanah yang bisa dilakukan lewat landreform belum maksimal dilakukan menjadi tenggelam dengan pembentukan badan bank tanah yang salah satu fungsinya adalah mendistribusikan tanah (pasal 126).  Ini dua hal yang berbeda, amanat UU nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria disebut UUPA adalah menata ketimpangan kepemilikan tanah warisan kolonial Belanda agar lebih merata dinikmati marhaen lewat land reform, dimana petani bisa memperoleh hak atas tanah menjadi miliknya sendiri yang berasal dari negara untuk kegiatan hidupnya, memenuhi kebutuhan keluarganya sehingga petani bisa mandiri dan bisa bekerja di atas alat produksi miliknya sendiri. 

Point penting badan bank tanah adalah agar tanah bisa dikendalikan harganya sehingga investor bisa dijamin kepastian perolehan tanah dan harga yang tidak terlalu menjerat mereka. Meskipun di pasal 126 di atur ketersediaan tanah untuk reforma agraria namun menjadi rancu bukan prioritas lagi untuk mengurangi ketimpangan kepemilikan tanah .

Ada hal yang luput diperhatikan, jangan sampai badan bank tanah menjadi pemilik tanah berskala luas dan mirip berlakunya domain verklaring dimana negara memiliki atas dalam skala luas menyimpang kepemilikan tanah. HPL tidak diatur dalam UUPA namun dalam badan bank tanah dibuatkan HPL mengacu kepada pasal 129 yang bisa diterbitkan HGU, HGB dan Hak Pakai . Hak menguasai negara sebagaimana diatur pada UUPA, berbeda dengan HPL yang bisa diberikan kepada badan  yang ditunjuk sebagai mana pasal 137, tidak diatur untuk marhaen (masyarakat adat) .

Badan bank tanah menjadi jauh harapan marhaen dan masyarakat adat untuk memperoleh tanah dari landreform dan menghilangkan ketimpangan kepemilikan tanah , agar bisa mandiri dalam bidang ekonomi sebagai mana cita-cita tri sakti Bung Karno dan tujuan negara dalam pembukaan UUD 1945. Pihak investor menjadi yang utama diprioritaskan untuk memperoleh keuntungan dari badan bank tanah. Sekali lagi jalan jauh dan terjal bagi pelaksaan landreform untuk menata ketimpangan kepemilikan tanah yang hasilnya bisa dinikmati marhaen dan masyarakat adat karena pada pasal 126 dan 137 investor lah yang bisa memang menang dalam persaingan bebas dan rakyat sulit memperoleh Tanah dari badan bank tanah karena sifatnya membeli dan jangan bermimpi bisa jalan landreform lewat badan bank tanah sedangkan landreform murni saja tidak maksimal dilaksanakan.(Red)

Posting Komentar

0 Komentar