ICW Tuding Aturan Dirjen Bea Cukai Rugikan Negara Rp2,6 T


JAKARTA, TEGAR NEWS - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai kebijakan cukai rokok yang diatur Kementerian Keuangan melalui Peraturan Dirjen Bea dan Cukai nomor 37 tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau telah merugikan negara.

Pasalnya kata peneliti ICW Emerson Yunto, kebijakan tersebut membuat beberapa merek rokok dijual di bawah harga jual eceran tertinggi (HJE). Dalam Pasal 22 Perdirjen, disebutkan bahwa arga Transaksi Pasar (HTP) yang merupakan harga jual akhir rokok ke konsumen bisa dijual di bawah 85 persen.

Padahal, dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 146 tahun 2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau, HTP atau harga di tingkat konsumen minimal adalah 85 persen.

Hal ini menuai polemik sebab dianggap tidak sesuai dengan konsep cukai sebagai instrumen pengendalian serta meningkatkan prevalensi perokok remaja di Indonesia. "Misalnya HJE Rp10 ribu, HTP minimal Rp8.500, dengan Perdirjen bisa dijual di rentang Rp8.499 dan dianggap tidak melanggar," ujar Emerson dalam diskusi virtual, Kamis (18/6).

Ia menyebut akibat kebijakan itu salah satu merek rokok dijual dengan harga jual eceran (HJE) Rp20 ribu per bungkus. Padahal HEJ-nya Rp27.200 per bungkus.

Menurut Emerson, kebijakan diskon rokok juga bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan yang melarang potongan harga produk tembakau.

Ia mengatakan akibat kebijakan itu negara berpotensi kehilangan pendapatan dari cukai mencapai Rp2,6 triliun. Pasalnya, meski tarif cukai naik, harga jual eceran rokok tetap dibanderol lebih rendah.

"Ini artinya konsumen dapat potongan harga hingga 15 persen dari harga banderol. Lalu PMK ditindaklanjuti dengan Perdirjen yang mengatur tata cara penetapan tarif CHT. Dalam Perdirjen 37 tahun 2017 HTP bisa kurang dari 85 persen dari HJE," terangnya.

Plt Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Oka Kusumawardani menjelaskan soal Peraturan Dirjen Bea dan Cukai nomor 37 tahun 2017 tentang Tata Cara Penetapan Tarif Cukai Hasil Tembakau yang disebut sebagai kebijakan "diskon rokok".

Menurutnya, terminologi diskon yang dilekatkan pada perdirjen tersebut tak tepat. Pasalnya, beleid itu hanya mengatur ketentuan harga jual akhir rokok ke konsumen yang lebih rendah atau di bawah 85 persen dari HJE.

"Dalam peraturannya sendiri itu tidak ada keterangan apapun yang menyatakan bahwa peraturan itu dimaksudkan untuk memberi diskon, juga tidak dimaksudkan agar rokok itu harganya jadi lebih murah," ucap Oka dalam kesempatan yang sama.

Oka juga menyampaikan aturan tersebut dikeluarkan tiga tahun lalu untuk memberi ruang gerak pada produsen untuk memasarkan produknya. Sebab, kata dia, tiap rantai distribusi memiliki biaya tersendiri dan bisa menyebabkan adanya pembengkakan harga. Dengan adanya Perdirjen tersebut, penjualan rokok bisa lebih fleksibel dari sisi harga.

"Setelah diproduksi itu tentunya ada jalur distribusi untuk menyampaikan produk tersebut, ke wholesaler-nya, ke ritel, sampai akhirnya baru ke konsumen akhir, Dan aktivitas mata rantai ini untuk distribusi tentunya kan juga memerlukan biaya di masing-masing tahapannya," jelasnya. (red)

Posting Komentar

0 Komentar