FICMA : Asbes Putih Aman Dari Asbestosis

       
Foto: Konferensi Pers FICMA saat pemaparan dan edukasi asbes putih aman bagi kesehatan.(Dok.Jc)


JAKARTA, TEGAR NEWS - Polemik penggunaan chrysotile atau asbes putih dalam produk fiber semen kembali mencuat. Namun, hasil riset terbaru Universitas Indonesia (UI), menunjukkan kadar debu yang terbang ke udara bahkan saat terjadi gempa, masih jauh di bawah ambang batas yang ditetapkan pemerintah.

Hasil penelitian itu dipaparkan dalam konferensi pers yang digelar Fiber Cement Manufacturer Association (FICMA), yang turut menghadirkan peneliti UI dan ahli toksikologi internasional, untuk memberikan edukasi mengenai keamanan chrysotile dalam produk fiber semen.

Peneliti dari Universitas Indonesia, Prof. Dr. Ir. Sjahrul Meizar Nasri, menyampaikan temuan mengejutkan dari simulasi yang dilakukan timnya pada 15 Agustus dan 1 September 2025 lalu.

"Simulasi gempa dengan penghancuran material atap menunjukkan kadar debu yang terbang ke udara, masih 10 kali lebih rendah dari ambang batas yang ditetapkan Kementerian Tenaga Kerja," ungkap Prof. Sjahrul, di Hotel Shangrila, Jakarta, Selasa (16/9/2025).

Menurutnya, sampel udara yang dianalisis di Laboratorium Pusat Higine Perusahaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (LPPKM FKM UI), menunjukkan nilai rata-rata hanya 0,016, jauh di bawah standar 0,15 cc yang ditetapkan. 

"Artinya, walaupun terjadi gempa besar dan atap hancur, potensi bahayanya pada kesehatan sangat minim. Justru yang lebih berisiko adalah tertimpa material, bukan terpapar debu fiber semen," tegas Prof. Sjahrul.

Prof. Sjahrul juga mengedukasi masyarakat, agar dapat membedakan antara fiber (serat panjang) dengan partikulat (butiran kecil seperti pasir).

"Pemahaman dasar sains tentang kerja paru-paru juga penting. Alveolus sebagai sel kecil di paru-paru, bekerja mengatur pertukaran oksigen dan karbondioksida serta menjadi pertahanan alami tubuh," jelasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif FICMA, Jisman, menekankan pentingnya edukasi publik, untuk memahami perbedaan antara asbes berbahaya dan fiber semen yang digunakan saat ini.

"Ini bukan hanya soal kesehatan, tetapi juga soal ekonomi dan akses masyarakat terhadap bahan bangunan yang terjangkau," jelas Jisman.

Jisman menambahkan, bahwa dari 220 negara di dunia, sekitar 70 negara mayoritas negara maju telah berhenti menggunakan asbes. Namun masih ada 150 negara termasuk Indonesia, yang menggunakan fiber semen karena daya tahan hingga 50 tahun dan biaya lebih murah.

Di tempat yang sama, Ahli Toksikologi International, David M. Bernstein, menegaskan pentingnya perubahan terminologi dari asbes ke fiber semen untuk menghindari stigma negatif.

"Di semua dokumen resmi kami tidak lagi menyebut asbes, melainkan lembaran semen bergelombang atau fiber semen. Perubahan istilah ini penting agar tidak menimbulkan stigma," kata Bernstein.

Bernstein menjelaskan, bahwa dalam kondisi nyata, debu dari atap berbahan semen lebih sering berbentuk partikulat yang tidak berbahaya jika sesuai ambang batas.

"Pada pH netral, partikel pendek mudah hancur dan keluar dari tubuh, tanpa menimbulkan kerusakan serius. Makrofag di dalam alveolus berperan melawan bakteri atau zat asing yang masuk ke dalam tubuh," paparnya.

Meskipun hasil riset menunjukkan keamanan produk, polemik terkait terminologi "asbes" dalam produk masih keliru, FICMA menilai karena yang ada dipasaran kini adalah fiber semen, bukan lagi murni asbes berbahaya seperti yang dikenal selama ini.

Konferensi pers ini merupakan tindak lanjut dari surat Hak Jawab FICMA Nomor 083/VLF/HAK-JWB/VIII/2025 tertanggal 7 Agustus 2025, yang bertujuan memberikan klarifikasi bahwa chrysotile dalam bentuk produk jadi tidak berbahaya bagi kesehatan manusia.

Dengan riset yang terukur, standar pengawasan yang ketat, dan transparansi informasi, diharapkan masyarakat dapat memperoleh pemahaman yang lebih akurat mengenai penggunaan produk fiber semen di Indonesia. (Red/PAN)

Posting Komentar

0 Komentar