Satyo Purwanto: Adanya Celah Hukum Ketika MA Menilai Permohonan PK oleh KPK Pada Kasus BLBI tak Memenuhi Syarat Formal

       

Foto: Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia's Democratic Policy Satyo Purwanto.(Dok.Jc)


JAKARTA, TEGAR NEWS - Direktur Eksekutif Oversight of Indonesia's Democratic Policy, Satyo Purwanto angkat bicara perihal putusan SP3 yang dilakukan oleh KPK pada kasus BLBI yang melibatkan Syafruddin Arsyad Tumenggung terjadi karena adanya celah hukum ketika MA menilai permohonan peninjauan kembali (PK) oleh KPK di kasus BLBI tak memenuhi syarat formal.

"Celah hukum dalam perkara ini adalah ketika MA menilai permohonan peninjauan kembali oleh KPK, MA menyatakan tak memenuhi syarat formal. KPK mengajukan PK atas putusan kasasi yang melepaskan Syafruddin dalam kasus BLBI," ujar Satyo kepada Tegar News, Jumat (2/4/2021).

Satyo mengatakan, tiga Majelis Hakim MA memberikan pendapat berbeda yang mengakibatkan Syafruddin dilepaskan dari segala tuntutan. Bahkan, MA juga membatalkan putusan pengadilan tingkat banding.

"Meski vonis ini diwarnai dengan dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh salah satu anggota majelis hakim karena bertemu pengacara Syafruddin sebelum vonis," kata Satyo.

Lebih lanjut Satyo menjelaskan, keputusan KPK mengeluarkan surat penetapan penghentian penyidikan (SP3) sesuai dengan revisi UU 30/2002 tentang KPK yang telah disahkan oleh DPR RI pada September 2019 lalu.

"Salah satu poinnya adalah KPK memang diberikan kewenangan menerbitkan SP3 jika penyidikan atau penuntutan tidak selesai dalam dua tahun sesuai Pasal 40. Dalam hal ini sepertinya KPK mendasarkan kepada Pasal 40 UU KPK tersebut," jelas Satyo.

Satyo pun tak menampik jika kewenangan dapat mengeluarkan SP3 itu menuai kritik karena dinilai berpotensi membuat kasus-kasus besar yang ditangani KPK akan berakhir dengan SP3.

"Kekhawatirannya adalah SP3 dapat membuat perkara yang ditangani KPK berhenti di tengah jalan jika para penyidik KPK ceroboh atau tidak cermat melakukan penyidikan," terang Satyo.

Satyo menilai kewenangan SP3 dihadirkan demi kepastian hukum di Indonesia. Meski demikian, SP3 berdampak psikologis untuk penanganan kasus korupsi di Indonesia. 

"Di sisi lain korupsi dikategorikan serius crime dengan kompleksitas tinggi dikarenakan para pihak yang terduga korupsi cenderung memiliki jabatan tinggi. Akibat pengaruh kekuasaannya orang-orang tersebut punya akses untuk mengaburkan dan menghilangkan barang bukti sehingga akan menyulitkan penjeratan para koruptor," pungkasnya.(Jc)

Posting Komentar

0 Komentar