Bagaimana Kedudukan Surat Edaran Menaker Sebagai Produk Hukum Dalam Sistem Hukum Indonesia

       

Foto: Geraldy Sinaga, SH.(dok JC)


*(Oleh: Geraldy Sinaga, SH.)*


BEKASI, TEGAR NEWS - Advokat yang tergabung dalam Law Office ARPM & CO Geraldy Sinaga SH menilai kedudukan surat edaran Menteri Ketenagakerjaan sebagai  produk hukum dalam sistem hukum Indonesia dari sudut pandang advokat. 

Kementerian Ketenagakerjaan resmi menerbitkan Surat Edaran (SE) Nomor M/11/HK.04/2020 mengenai Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) yang ditandatangani oleh Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziah tanggal 26 Oktober 2020 ditujukan kepada seluruh Gubernur di Indonesia. 

Dalam Surat Edaran tersebut Menteri Ketenagakerjaan membuat pertimbangan kondisi perekonomian Indonesia pada masa Pandemi COVID-19 dan perlunya pemulihan ekonomi Indonesia, ada 3 (tiga) point permintaan Menteri Ketenagakerjaan kepada seluruh Gubernur di Indonesia, antara lain: 

1. Melakukan penyesuaian penetapan upah minimum Tahun 2021 sama dengan nilai Upah Minimum Tahun 2020.

2. Melaksanakan Penetapan Upah Minimum setelah Tahun 2021 sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Menetapkan dan mengumumkan Upah Minimum Provinsi tahun 2021 pada tanggal 31 Oktober 2021.

Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 Tentang Pengupahan mengatur bahwa Upah Minimum ditetapkan setiap tahun dan dilakukan oleh Gubernur sebagai jaring pengaman. Dalam PP tersebut pula ditegaskan bahwa upah minimum sebagaimana dimaksud hanya berlaku bagi pekerja/buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada perusahaan yang bersangkutan, sementara upah bagi pekerja/buruh dengan masa kerja 1 tahun atau lebih dirundingkan secara bipartit antara pekerja/buruh dengan perusahaan di perusahaan bersangkutan. Penetapan Upah Minimum dihitung dengan menggunakan formula penghitungan: UMn = Umt + {UMt x (inflasit + % Δ PDBt)}. Dengan adanya diterbitkannya Surat Edaran Menaker tersebut bertolak belakang dengan formula penghitungan Upah Minimum sebagaimana diatur dalam PP Nomor 78 tahun  2015 Tentang Pengupahan. 

Di masa Pandemi ini banyak sekali terbit berbagai macam Surat Edaran yang dikeluarkan kementerian atau lembaga termasuk SE Menaker sebagai instrumen pemerintah dalam menjalankan kebijakannya, lalu Bagaimana kedudukan Surat Edaran Menaker sebagai produk hukum dalam Sistem Hukum di Indonesia?

Hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia merujuk pada Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Nomor 12 tahun 2011) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan Perundang-undangan (UU Nomor 15 Tahun 2019) adalah terdiri atas :

a. Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.

Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan diatas sesuai dengan hirarki tersebut dan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Jenis Peraturan perundang-undangan selain yang dimaksud diatas mencakup peraturan yang ditetapkan oleh antara lain: Majelis Permusyawaratan rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Yudisial (KY), Bank Indonesia (BI), Menteri, Badan, Lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang Undang atau Pemerintah atas perintah Undang Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Gubernur, Bupati/Walikota, kepala desa atau yang setingkat.

Peraturan perundangan-perundangan tersebut diatas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Menurut Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan Pasal 1 angka 9, Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.

Dalam Pasal 22 ayat 1 diatur bahwa Diskresi hanya dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang berwenang dan di ayat 2 disebutkan bahwa Setiap Penggunaan Diskresi pejabat pemerintahan bertujuan untuk:

a. Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;

b. Mengisi kekosongan hukum;

c. Memberikan kepastian hukum;

d. Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.

Diskresi Pejabat pemerintahan dalam pasal 23 meliputi, antara lain:

a. Pengambilan keputusan dan/atau tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mmeberikan suatu pilihan keputusan dan/atau tindakan;

b. Pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena pertaturan perundang-undangan tidak mengatur;

c. Pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan

d. Pengambilan keputusan dan/atau tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.

Adapun syarat Pejabat pemerintahan yang menggunakan diskresi sesuai pasal 24 antara lain:

a. Sesuai dengan maksud diskresi sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat 2;

b. Ridak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. Sesuai dengan asas-asas umum Pemerintahan yang baik;

d. Berdasarkan alasan-alasan yang objektif;

e. Tidak menimbulkan konflik kepentingan;

f. Dilakukan dengan itikad baik

Dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2012, Surat Edaran digolongkan sebagai produk tata naskah dinas. Prof. Maria Farida, Guru Besar Ilmu Perundang-undangan Universitas Indonesia mengatakan bahwa Surat Edaran tidak termasuk kategori peraturan perundang-undangan, sifatnya hanya untuk kalangan internal. Dari segi muatan Surat Edaran biasanya menjelaskan atau membuat prosedur atau memmperjelas peraturan yang mesti dilaksanakan sehingga tidak boleh menabrak apalagi menegasikan peraturan perundang-undangan (UU,PP atau Perpres).

Dapat disimpulkan bahwa Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Nomor M/11/HK.04/2020 mengenai Penetapan Upah Minimum Tahun 2021 pada masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) bukanlah peraturan perundang-undangan karena di dalam hirarki tidak terdapat satupun yang menjelaskan tentang Surat Edaran adalah suatu peraturan perundang-undangan.

Pertimbangan Situasi Perekonomian yang terdampak akibat Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) dan Pemulihan ekonomi Indonesia memang sesuatu penjelasan yang objektif, namun keadaan tersebut tidak dapat dipukul rata untuk semua sektor industri dan tidak tepat karena bertentangan dengan peraturan yang mengatur mengenai Upah Minimum yaitu PP No. 75 tahun 2015 tentang Pengupahan sehingga tidak mesti harus dipatuhi oleh semua Gubernur di Indonesia dalam menentukan kenaikan Upah Minimum di tahun 2021, dapat dimunculkan pula ruang diskusi dan negoisasi antara perusahaan dengan buruh/pekerja untuk menentukan nominal kenaikan upah minimum dengan adanya kerjasama, saling keterbukaan dan semangat untuk bangkit dari keterpurukan dari perusahaan dengan buruh/pekerja.(red)


Posting Komentar

0 Komentar