Refleksi 24 Tahun Peristiwa 27 Juli 1996


             
Foto : Tragedi 27 Juli 1996 (dok.Istimewa)


                *) Oleh : Edysa Girsang

JAKARTA , TEGAR NEWS - Sejarah peristiwa 27 Juli 1996 adalah perjalanan buruk bagi perjalanan Demokrasi di Indonesia. Watak otoritarian kekuasaan pada saat menjelaskan anti terhadap suara suara rakyat yg berbeda dengan kekuasaan. 

Berawal dari keinginan kekuasaan mengatur perjalanan partai-partai politik sesuai dengan kehendak kekuasaan. Partai politik harus seragam suaranya dengan rezim Orde Baru saat itu. Karenanyalah terjadi perpecahan pada kubu PDI saat itu dimana kubu Suryadi yang ingin mengikuti keinginan kekuasaan dengan suara publik yang ingin ada perubahan dengan mendaulat Megawati sebagai simbul perlawanan terhadap tirani kekuasaan.

Sayangnya perjalanan gelap Demokrasi saat itu tak menjadi pelajaran bagi pembangunan Demokrasi yang berkedaulatan rakyat. Sampai saat ini pun suara suara kritis tetap sering terjadi pembungkaman, partai terus dikendalikan demi kekuasaan. Media bahkan lembaga-lembaga lainpun seperti di bonsai itu terlihat bagaimana upaya kekuasaan dalam UU Nomor 2 Tahun 2020 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemik Corona Virus Disease 2019 (covid-19) dan / atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Menjadi Undang-undang, dimana Parlemen diamputasi fungsinya dan juga lembaga pengawasan seperti BPK, KPK juga kepolisian dan kejaksaaan dimandulkan.

Ironisnya sampai saat ini juga PDIP yang telah berkuasa dua kali pun tak punya keinginan serius mengguak tragedi Demokrasi tersebut. Bahkan Jokowi pada awal ingin berkuasapun pernah berjanji akan menegakkan dan menuntaskan tragedi 27 Juli 1996 serta pelanggaran HAM lainnya. Nyatanya? Kosong.

Ini membuktikan bahwa kekuasaan lebih penting dari pada membangun kedaulatan rakyat. Sebagaimana prinsip dasar nasional kita yang berkedaulatan rakyat. Bahkan temuan dan rekomendasi KOMNAS HAM tak ada satu regim pun yg mau menjalankan. 
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mencatat 5 orang tewas, 149 luka-luka, 23 orang hilang, dan 124 orang ditahan. Sebanyak 22 bangunan terbakar dan 91 kendaraan bermotor hangus. Kerugian material ditaksir sekitar Rp 100 miliar.

Jadi wajar apabila publik tidak lagi mempercayai kekuasaan saat ini untuk menegakkan keadilan sesuai harapan rakyat banyak.

Kita berharap kedepan tidak ada lagi pembungkaman suara-suara kritis Publik.(JC)

Edysa Girsang
Aktivis'98
Ketua Badan Relawan Nusantara (BRN)


Posting Komentar

0 Komentar