Evaluasi Enam Tahun Rezim Jokowi Berkuasa


Foto : Diskusi via Zoom Barisan Relawan Nusantara (BARANUSA) (dok pribadi EQ)

oleh : Edysa Girsang *)


Enam Tahun sudah rezim Jokowi berkuasa namun apakah sudah membawa perubahan baik di bidang ekonomi dan politik, hukum, keamanan (Polhukam), sosial dan juga budaya? 

Barisan Relawan Nusantara (Baranusa) merefleksikan enam tahun Pemerintahan Jokowi dengan judul 'Evaluasi Enam Tahun Rezim Jokowi Berkuasa' di Jakarta, Kamis (02/07/20) dengan mengundang sejumlah narasumber dari berbagai kalangan aktivis, pengamat serta Akademisi diantaranya Sekretaris Jenderal Front Pembela Islam (FPI), Munarman, Aktivis 98 yg juga Ketum BRN (Badan Relawan Nusantara *Edysa Tarigan* Girsang (Eq), Ketua Umum Baranusa, Adi Kurniawan, Mohamad Jokay Castroeni Almayda (Koordinator Nasional Satu Aspal), Olisias Gultom (Akademisi) dan Abdul Razak Wawo dari Forum Alumni Perguruan Tinggi Jabodetabek.  

Dalam diskusi yang dipandu oleh Detty Artsanti dari Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) ini telah menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa pemerintahan Jokowi dari 2014 hingga sekarang tidak mampu membawa perubahan bagi Indonesia seperti yang dimaksudkan dalam agenda prioritas Pemerintahan Jokowi, yakni agenda nawa cita dan revolusi mental yang pernah digaungkan Jokowi-JK pada tahun 2014 lalu.

*Infrastruktur dan Hutang Luar Negeri*

Infrastruktur yang digalakkan Pemerintahan Jokowi selama ini dianggap belum mampu memberikan efek positif bagi perekonomian negara dan rakyat Indonesia, dimana infrastruktur tersebut dinilai hanya mampu mencetak hutang yang menumpuk hingga mencapai ribuan triliun rupiah tanpa memberikan pemasukan bagi keuangan negara secara signifikan untuk membawa masyarakat yang adil dan makmur serta Indonesia maju. 

Menurut laporan Bank Indonesia (BI) posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir kuartal I 2020 sebesar 389,3 miliar dollar AS atau setara Rp 5.796 triliun (kurs Rp 14.890 per dollar AS).

Infrastruktur juga dinilai tidak sejalan sesuai fungsinya seperti tol, pelabuhan dan bandara yang seharusnya menjadi pendukung bagi jalannya roda perdagangan dalam negeri namun yang terjadi malah hanya menjadi roda perdagangan asing untuk memuluskan impor bahan dari luar negeri bahkan perdagangan dalam negeri terkait ekspor produk dalam negeri pun lemah serta kurang berjalan. Artinya, infrastruktur dibangun bukan untuk memperkuat serta meningkatkan infrastruktur negara namun hanya untuk kepentingan asing dan pemburu rente. 

*Hukum dan Demokrasi*

Demokrasi pun redup, kebebasan berpendapat dan berekspresi dibungkam sedemikian rupa terhadap masyarakat yang kerap mengkritisi kebijakan pemerintah yang dianggap telah merugikan banyak pihak seperti apa yang dialami Constitutional Law Society (CLS) mahasiswa FH UGM yang mengusung diskusi bertema 'Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan' hingga berujung teror dan intimidasi pembunuhan. Belum lama intimidasi serta fitnah keji juga sempat dialami komika Bintang Emon terkait postingannya mengenai kasus penyiraman air keras yang dialami Penyidik KPK, Novel Baswedan. 

*Masyarakat Semakin Terpecah*

Selain dibungkam kebebasan berpendapatnya, masyarakat di era pemerintahan Jokowi ini juga kerap diadu domba dan diprovokasi sedemikian rupa agar terus berseteru seperti munculnya 'Cebong VS Kadrun' 'Pancasila VS Khilafah' yang seharusnya hal ini tidak terjadi pada kehidupan rakyat Indonesia. Sebab, Pancasila sudahlah final dan tak perlu diributkan lagi tetapi diterapkan oleh negara sebagai sistem Negara Republik Indonesia dalam mewujudkan Indonesia yang bijaksana, bersatu, bermusyawarah membangun bangsa dan negara menuju Indonesia yang adil, makmur dan berdaulat.

*Revolusi Mental Gagal*

Pemerintahan Jokowi juga dinilai gagal dalam menerapkan 'Revolusi Mental' terhadap sistem birokrasi pemerintahannya dikarenakan masih maraknya kasus korupsi hingga praktek KKN dan rangkap jabatan berlaku di tubuh BUMN serta lembaga negara lainnya. Kasus korupsi yang paling menghebohkan publik diantaranya terjadi pada perusahaan asuransi milik BUMN yakni Jiwasraya yang menyebabkan kerugian negara mencapai puluhan triliun rupiah. Bukan hanya terjadi pada Jiwasraya, tetapi juga terjadi pada ASABRI hingga Taspen. 

*Kemiskinan Dan Kemandirian Ekonomi* 

Pemerintahan Jokowi juga dianggap tidak serius dalam menurunkan angka kemiskinan selama enam tahun memimpin. Kemandirian ekonomi yang tertuang pada Trisakti Jokowi-JK pun hanya khayalan yang tidak pernah diterapkan hingga sekarang. Indonesia sejak dipimpin Jokowi tetap sama seperti presiden-presiden sebelumnya yang tetap bergantung pada investor asing dan swasta. 

Sikap ketergantungan tersebut terlihat dari bagaimana tingkat kemandirian Indonesia dalam membangun ekonomi negara yang sudah pasti tidak mampu menciptakan masyarakat yang mandiri secara ekonomi. Sehingga jelas dampaknya masyarakat tidak kreatif serta sangat tergantung pada perusahaan swasta. Belum lagi dalam sistem ketenagakerjaan yang tidak memberikan jaminan perlindungan serta hukum sama sekali, ditambah sistem outsourcing serta kerja kontrak. 

Munculnya Omnibus Law RUU juga paling banyak ditolak lapisan masyarakat dari kalangan buruh, mahasiswa, yang sekarang ini tengah digodok oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah. Omnibus Law dirancang sebagai bahan untuk mempermudah investor masuk ke Indonesia. Omnibus Law merupakan RUU untuk mempermudah investasi di Indonesi, yaitu RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka), RUU Perpajakan, dan RUU UMKM. Bagi pekerja, aturan ini merugikan karena banyak hak buruh yang tercabut, misalnya: dimudahkannya PHK, dihapuskannya cuti-cuti penting seperti cuti haid dan melahirkan, jumlah pesangon yang diturunkan, diperluasnya pekerjaan yang menggunakan sistem kontrak dan alih daya yang bikin mereka rentan diputus kontrak begitu saja, sampai tidak leluasanya untuk berserikat karena harus terus menerus bekerja agar mencapai target yang ditentukan oleh perusahaan.

Hal lain yang membuat pekerja keberatan dengan aturan tersebut adalah perubahan upah menjadi per jam yang membuat pekerja dilihat hanya sebagai mesin produksi.

Sementara bagi pengusaha dan investor, aturan ini menguntungkan karena mereka tidak harus menanggung risiko dari apa yang ditakutkan oleh para pekerja

Secara garis kemiskinan, Indonesia sendiri memiliki jumlah angka kemiskinan yang terbilang sangat besar bahkan menurut Bappenas, angka kemiskinan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) di Indonesia pada September 2019 sebesar 24,79 juta orang, belum lagi pada masa krisis ekonomi global yang disebabkan oleh Covid-19 dapat lebih besar dari data angka tersebut. Bappenas sendiri memproyeksikan jumlah jumlah angka pengangguran di Indonesia akan bertambah 4,22 juta orang pada 2020. Kadin mengatakan sejauh ini angka pekerja yang dirumahkan dan di PHK sudah mencapai 6,4 juta orang. Berbeda dengan angka dari Kementerian Ketenagakerjaan yang hanya 2,8 juta orang yang dirumahkan dan PHK. Wow sangat fantastis… 
Selain terbebani PHK, masyarakat Indonesia juga terbebani dengan kenaikan iuran BPJS serta harga BBM yang tak kunjung turun. Padahal, harga minyak dunia sedang merosot tajam. 

*Anggaran Besar Tapi Penanganan Covid-19 Tak Jelas*

Pemerintah menyiapkan dan menggelontorkan kurang lebih hampir 700 triliun atau sebesar 695 triliun untuk penanganan Covid-19 mulai dari penanganan kesehatan, sosial hingga pemulihan ekonomi. Tapi sudah sejak virus Corona diumumkan sebagai darurat kesehatan oleh pemerintah hingga kini masih tidak jelas penanganannya seperti apa. Jumlah angka positif bukannya menurun justru terus meningkat. Persoalan pendistribusian Bansos pun kisruh akibat data yang tidak tepat sasaran hingga pelaksanaannya yang semrawut di lapangan, stimulus pemulihan ekonomi pun tidak transparan dan sangat berpotensi penyelewengan serta berpotensi dikorupsi. Ditambah dikeluarkannya Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang penanganan Covid-19 yang telah menjadi UU No 2 Tahun 2020 (sedang digugat Prodem dan lainnya di MK) berpotensi kebal hukum serta berpotensi melahirkan skandal BLBI baru. Ironisnya UU ini tidak ada menyebutkan tentang pendemi/corona sedikitpun, ujar Edysa Girsang yg biasa dipanggil Eq. Apa tidak berbahaya jika dibiarkan seperti itu? Sementara ancaman gejolak sosial sudah semakin berada di depan mata. 

*Jokowi Marah, Ancam Reshuffle Dan Bubarkan Lembaga Negara. Menteri Atau Presiden Yang Salah?*

Situasi tersebut memicu kemarahan Jokowi kepada jajarannya. Bahkan, Jokowi sendiri mengancam akan merombak menteri-menterinya serta akan membubarkan lembaga negara yang hanya menjadi beban. Namun demikian, kemarahan Jokowi tersebut dipertanyakan 'Yang salah Menteri dan Lembaga atau Presidennya?' Pertanyaan tersebut dinilai wajar lantaran semua itu adalah hak prerogatif presiden dan presidenlah yang memilih serta mengatur itu semua. Jadi, apabila terjadi kesalahan dalam kinerja para menteri serta lembaga negara yang tidak memberikan dampak positif bagi kinerja pemerintah maka pantaslah presiden yang disalahkan. 

Meskipun reshuffle kabinet dan membubarkan lembaga negara, Jokowi diyakini tetap akan berporos pada kepentingan oligarki dan partai politik. Jokowi sendiri sudah pasti tidak akan berani keluar dari poros tersebut dikarenakan ada jasa yang besar yang membawa Jokowi untuk masuk ke istana menjadi orang nomor satu di Indonesia. 

Jakarta, 2 Juli 2020

Salam hormat,
Barisan Relawan Nusantara
(Baranusa)

Posting Komentar

0 Komentar